Selasa, 25 Desember 2012

Untukmu fiqh mu, untukku fiqh ku...

Beberapa hari belakangan ini dunia maya begitu disibukkan dengan perdebatan antara sesama muslim tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal bagi ummat kristiani yang merayakannya pada hari ini. Dan saya secara pribadi pun sempat ikut terbawa arus dalam perdebatan itu, sampai akhirnya saya merasa muak dan mulai menyadari satu hal. Kenapa kita begitu sibuk dengan perdebatan tentang sesuatu yang kita sendiri tidak merayakannya? Selain itu, mengapa kita menjadi begitu sibuk berdebat dan berselisih pendapat tentang sesuatu yang pengetahuan kita tak memadai untuk menghukuminya? Bahkan hingga berdampak pada pengambil-alihan wewenang Tuhan (menghukumi kafir) atas mereka yang berbeda pendapat dengan kita.

Islam sebagai sebuah agama yang cukup besar, bahkan termasuk dalam tiga agama besar dengan pemeluk terbanyak di dunia, meniscayakan terjadinya perbedaan pendapat berdasarkan perbedaan penafsiran atas kitabullah. Tetapi apakah hal ini layak menjadi dasar bagi kita untuk menghukumi mereka yang berbeda pendapat dengan kita dengan label murtad, sesat, bahkan kafir? Bukankah perbedaan ini adalah kehendak Tuhan?
“Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal (bukan supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal.” (Al-Hujurat : 13)
Diayat yang lain disebutkan secara jelas dan tegas.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, (Al-Ma'idah : 48)

Dengan mengutip dua ayat dari Al-Quran diatas, telah jelas bahwa perbedaan itu adalah kehendak Allah SWT, lalu atas dasar apa kita memaksakan keyakinan kita pada yang lain?

Itu baru satu hal sekaitan dengan perbedaan pendapat yang saya singgung diatas.

Hal selanjutnya adalah, dengan kapasitas pengetahuan kita sebagai seorang yang awwam, apakah layak bagi kita untuk menentukan hukum atas suatu perkara fiqh? Bukankah pada hal-hal seperti ini, maka kita dianjurkan untuk mengikuti pendapat Ulama, yaitu mereka yang lebih memahami duduk perkara suatu hal.

Sekedar ilustrasi bagi kita, jika kita sedang menderita sebuah penyakit, maka kita akan mendatangi dokter. Jumlah dokter pastilah lebih dari satu, dan kita akan memilih untuk mengunjungi satu dokter saja untuk mengobati penyakit kita. Dokter tersebut akan memberikan sebuah resep obat untuk kita konsumsi demi menyembuhkan penyakit kita. Dan tentunya setiap dokter akan memiliki resep yang berbeda. Tetapi karena kita hanya mempercayai seorang dokter saja, maka kita akan memilih resep obatnya dan mempercayakan kesembuhan kita pada resep obat dari dokter tersebut. Lalu ada orang lain yang memutuskan untuk mengunjungi dokter yang berbeda dan mendapatkan resep obat yang berbeda, apakah kita akan secara serta merta menghukumi bahwa dia tidak akan mendapatkan kesembuhannya hanya karena dia tidak mengunjungi dokter yang sama dengan kita? Tentu tidak kan.

Begitu pulalah dengan Ulama, ada banyak ulama dan masing-masing ulama memiliki pendapat yang berbeda. Kita akan memutuskan untuk mengikuti pendapat salah satu ulama. Tetapi keputusan kita untuk mengikuti pendapat ulama tersebut tidak secara serta merta membuat kita memiliki hak untuk menghukumi orang yang mengikuti pendapat ulama yang lain sebagai sebuah kesalahan, kesesatan, dan sejenisnya.

Kita mengetahui bahwa dalam Islam ada empat mazhab fiqh besar, yaitu : fiqh imam Maliki, fiqh imam Hambali, fiqh imam Hanafi, dan fiqh imam Syafi'i. Dan diantara keempatnya tentunya memiliki perbedaan pendapat antara satu dengan lainnya. Kita tentu saja memiliki hak untuk memutuskan mengikuti salah satu diantaranya. Tetapi kita tidak pernah punya hak untuk menghukumi mereka yang mengikuti mazhab fiqh yang berbeda itu salah. Yang bisa kita lakukan adalah mengikuti mazhab fiqh yang kita anggap benar, dan membiarkan mereka yang mengikuti mazhab fiqh yang berbeda dengan keyakinannya.

Sekaitan dengan hal yang telah disinggung diatas, pun terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Dan sebagaimana pilihan kita terhadap mazhab fiqh yang dapat saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, begitu pulalah pilihan kita untuk mengucapkan selamat atau tidak. Bagi yang ingin mengucap selamat, silahkan mengucap selamat sebagaimana keyakinannya berdasar pendapat ulama yang diikutinya. Dan bagi yang menganggap hal tersebut haram, maka silahkan tetap berada pada keputusannya sebagaimana pendapat ulama yang diikutinya. Dan biarkan keduanya berjalan beriringan..

Mengapa harus larut dan ikut berdebat sementara pengetahuan kita tak dapat dikatakan cukup layak untuk melakukannya.

Sekian pendapat saya. Dan ini adalah pendapat saya sebagai orang awwam..
Syukran Katsiran..

Sabtu, 15 Desember 2012

Ber-Tuhan dan/atau ber-agama

Lama tidak meng-up date tulisan disini, hingga akhirnya saya tak tahu apa yang harusnya terketik..
Mari sejenak mengobrak-abrik rak-rak usang yang berisi pemikiran-pemikiran yang lama ditinggal dan berdebu dalam kepala. Ditemani secangkir kopi hitam dari toraja, sebungkus rokok, dan roti.
Nah, saya menemukan sesuatu disana..
Sesuatu yang disebut ber-Tuhan atau ber-agama (kita jadikan saja istilah ini sebagai judul tulisan)
Pertanyaan pertama apa itu ber-Tuhan?
Ber-Tuhan adalah sebuah pengakuan, lebih dari itu sebuah penyerahan diri pada sosok yang maha kuasa. Penyerahan diri ini menjadikan keterikatan penuh pada-Nya dan hanya pada DIA dalam nama apapun kau menyebut-Nya. Ber-Agama atau tidak, adalah hal lain yang terpisah dari urusan ke-ber-Tuhan-an ini. Hal inilah yang menjadi substansi, sesuatu yang bersifat esensial dalam hidup. Bagi sebagian orang, ber-agama adalah wujud aksiden dari hal ini.
Pertanyaan kedua, apa itu ber-Agama?
Ber-agama adalah penentuan sikap keberpihakan pada ajaran dari sebuah atau sesuatu yang bersifat sakral, suci, yang dalam beberapa literatur disebut sebagai wujud dari peraturan Tuhan. Keputusan untuk memeluk satu agama melahirkan ikatan pada ajaran dan aturan agama tersebut secara ketat, sehingga mustahil bagi individu untuk memeluk dua agama atau lebih pada saat bersamaan.
Pertanyaan ketiga, apakah kedua hal tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya?
Ber-Tuhan dan ber-agama adalah dua hal berbeda dan yaa, keduanya (seharusnya) berhubungan. Idealnya, ber-Tuhan adalah substansi dari kemanusiaan dan ber-agama adalah aksidennya. Perpaduan keduanya adalah esensi kemanusiaan. Pada realitasnya, berdasarkan logika hubungan, maka ada beberapa kemungkinan kombinasi hubungan yang terjadi antara keduanya pada diri seorang individu. Let's check it out
Hubungan pertama....
Tidak ber-Tuhan dan tidak ber-Agama, hal ini adalah kombinasi pertama (saya sengaja mengurutkannya dari hal yang paling tidak menyenangkan diawal..berdasar penilaian subjektif..agar menemukan happy ending). Hal ini mewujud pada individu yang tidak memahami ke-diri-annya dan memilih untuk tidak menyerahkan hal ini pada agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa individu seperti ini adalah individu yang sesat lagi memilih untuk tersesat (sadar atau tidak sadar)
Hubungan kedua...
Tidak ber-Tuhan tetapi ber-agama, kombinasi ini mewujud pada individu yang tidak memahami ke-diri-annya tetapi memilih untuk menyerahkan hal itu pada agama untuk menentukannya. Kombinasi ini sebenarnya tidak buruk, bahkan mungkin saja mayoritas individu memilih (sadar atau tidak sadar) untuk berada pada kombinasi ini. Selama anda patuh pada ajaran agama, maka bisa jadi suatu saat kelak anda akan menemukan ke-ber-Tuhan-an itu sendiri. Tetapi sayangnya, ada juga individu yang memilih ber-agama namun memutuskan untuk tidak mematuhinya, individu ini lebih memilih untuk menemukan celah-celah pada agama untuk menjadi landasan bagi setiap tindakannya yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain.
Hubungan ketiga...
Ber-Tuhan tetapi tidak ber-agama, kombinasi ini lahir pada individu yang mampu (atau merasa dirinya mampu) memahami ke-diri-annya dan menganggap bahwa agama adalah kerangkeng yang memenjarakan kemanusiaannya. Dengan ber-agama dia merasa terbatas pada aturan-aturan ke-agama-an yang sejatinya tanpa aturan itu dia telah mengetahui apa yang baik dan yang buruk. Sehingga walaupun tidak ber-agama, orang seperti ini cenderung lebih jarang melakukan tindakan yang merugikan atau bahkan mendzalimi orang lain.
Hubungan keempat...
Ber-Tuhan dan ber-agama, ini adalah kombinasi paripurna (paling tidak menurut pendapat saya pribadi) dimana individu mampu memahami ke-diri-annya dan pada saat yang sama dia juga mampu mewujudkannya dalam aksiden yang teratur rapi. Individu seperti ini umumnya memilih hal ini karena kesadaran akan misi ke-nabi-an yang seharusnya tidak terputus hanya karena tak ada lagi gelar ke-nabi-an setelah kepergian nabi terakhir.
Demikian tulisan kali ini,
Mungkin tidak cukup mampu menjelaskan dengan lebih baik..mungkin juga mengandung kesalahan..tulisan ini pendapat pribadi yang tidak menutup pintu kritik dan ruang diskusi..
Salam dialektik..