Bagi orang
Makassar mungkin sudah cukup gerah dengan persepsi bahwa orang Makassar itu
kasar. Tetapi untuk menyangkalpun tidak mungkin karena pemberitaan di media
menggambarkan hal seperti itu. Saya sebagai orang Makassar cukup gerah juga
dengan persepsi itu. Tetapi sebagaimana yang lain, agak sulit untuk menyangkal
realitas itu.
Sampai akhirnya
saya mengingat-ingat lagi sebuah cerita kebijaksanaan lama tentang tiga orang
buta yang disuruh memegang seekor gajah dan menjelaskan bagaimana bentuk gajah
tersebut. Orang pertama memegang belalai gajah dan kemudian berkesimpulan bahwa
gajah itu berbentuk bulat panjang seperti tali. Orang kedua memegang telinga
gajah dan berkesimpulan bahwa gajah itu berbentuk pipih dan lebar seperti
kertas. Sementara orang ketiga memegang perut gajah dan berkesimpulan bahwa
gajah itu bulat dan besar seperti bola.
Pertanyaan yang
hadir kemudian adalah, apakah ketiga persepsi itu salah? Jawabannya tentu saja
tidak salah. Karena ketiga persepsi tersebut diambil langsung dari gajah. Kalau
begitu, apakah ketiga persepsi tersebut benar? Jawabannya adalah persepsi
tersebut benar tetapi tidak menggambarkan gajah secara utuh. Persepsi tersebut
menggambarkan gajah secara benar tetapi hanya sebagian. Persepsi yang bersifat
particular bukan universal.
Begitu pula yang
terjadi dengan gambaran atau persepsi tentang orang Makassar yang kasar. Hal
itu bukan tidak benar, tetapi hanya menggambarkan satu wajah Makassar dari
banyak bagian lainnya yang tidak tergambarkan. Media yang memberikan persepsi
tersebut tidak salah, tetapi juga tidak memberikan gambaran utuh tentang
Makassar.
Oleh karena itu
menurut saya baik orang Makassar maupun orang diluar Makassar dengan ini dapat
lebih bijak dalam melihat “kasar”-nya Makassar. Sebagai orang Makassar kita
tidak perlu membantah dengan begitu sengitnya bahwa Makassar itu tidak kasar,
karena memang itulah salah satu wajah Makassar. Yang perlu dilakukan adalah
menunjukkan wajah lain Makassar yang tidak diperlihatkan oleh media. Sementara
orang yang bukan Makassar, perlu pula menyadari bahwa “kasar” bukan
satu-satunya wajah Makassar.
ku sukanya ini tulisan (applause)
BalasHapus