Senin, 26 April 2010

SENYUM KEMENANGAN

Aku masih terbaring disini. Ditanah lapang ini dengan sebilah badik yang tergenggam ditanganku. Terbaring disebelah jenazah adikku. Menatap langit malam dengan perasaan hampa. Masih berharap kejadian setengah jam yang lalu hanya sebuah ilusi.

Setengah jam yang lalu aku berdiri ditanah lapang ini dengan mata nanar berhadapan dengan adik kandungku sendiri. Berhadapan bukan untuk sebuah peluk mesra adik kepada kakaknya atau sebaliknya. Aku berhadapan dengan adik kandungku sendiri untuk sebuah pertarungan bertaruh nyawa. Aku masih merasa ini adalah hal yang tidak perlu. Tapi mengapa hal ini seolah mustahil untuk dihindarkan. Seandainya saja cara berpikir ayahku tidak seperti ini. Mungkin saja saat ini aku sedang duduk berdua dengan adikku sembari bercanda tentang gadis-gadis atau hal-hal yang lainnya. Tetapi hal ini memang tak mungkin untuk terhindarkan.

Berdiri berhadapan dengan adik kandung sendiri dalam sebuah duel bertaruh nyawa, segala rasa merasuk kedalam jiwaku. Benci, marah, sedih, dan perasaan lainnya muncul dan berkelebat begitu saja. Datang dan pergi tanpa bisa kukendalikan.

Dia berjarak kurang lebih dua meter dari hadapanku. Dalam keadaan yang sama, sama-sama menggenggam sebilah badik tajam. Dalam tatapannya yang kurang lebih sama dengan caraku menatap. Mungkin perasaan yang berkecamuk dalam hatinya juga sama dengan yang kurasa saat ini. Mungkin juga tidak. Mungkin saja dia malah justru merasa gembira karena kesempatan ini akhirnya tiba juga. Kesempatan untuk menjadi penguasa. Pikiran ini sedikit menghilangkan rasa bersalahku.

Kesempatan untuk menjadi penguasa. Kesempatan untuk memerintah sebuah kerajaan yang cukup besar. Aku adalah serang pangeran, begitu juga adikku. Kami adalah dua orang putra dari raja sebuah kerajaan besar yang menguasai beberapa kerajaan kecil disekitar kerajaan kami.

Dua hari yang lalu, saat sedang bercengkerama dengan adikku, tiba-tiba saja ayah memanggil kami berdua. Beliau berkata, “ mungkin sudah saatnya bagiku untuk menyerahkan tahta kepada salah satu diantara kalian”. Setelah terdiam sejenak, beliau kemudian melanjutkan perkataannya, “tak mungkin ada dua badik dalam satu sarung, tak mungkin ada dua raja yang duduk ditahta kerajaan yang sama”. “ sekarang saatnya untuk kalian berdua membuktikan siapa yang layak untuk menjadi raja dari kerajaan ini”. Beliau lalu terdiam lagi untuk sejenak seolah berpikir keras untuk melanjutkan kalimatnya. Sampai akhirnya melanjutkan kalimatnya, “ kalian harus bertarung antara satu dengan yang lain, yang menanglah yang menjadi raja”. “sebuah pertarungan hidup dan mati”. Tiba-tiba saja aku merasa darah dikepalaku surut hingga ke kakiku. Tak pernah kusangka ayahku akan menyuruhku untuk saling bunuh dengan saudara kandungku sendiri. Bukan hanya itu tetapi saudaraku satu-satunya.

Aku terdiam sejenak mencoba untuk menenangkan diri setelah syok karena mendengar pernyataan yang sangat mengejutkan dari ayahku. Setelah merasa pulih lalu aku berkata kepada ayahku, “ ayahanda, apakah hal ini perlu untuk dilakukan? Jika hanya untuk mencari siapa raja dikerajaan ini, tak perlu sampai saling bunuh. Cukup sebuah pertarungan biasa saja.” Mendengar hal itu ayah lalu berdiri dan berbalik membelakangi kami semua. Tak lama kemudian dia menjawab, “ Aku adalah raja, dan untuk menjadi raja dikerajaan ini, aku harus membunuh dua orang saudaraku.” Sambil berbalik kembali untuk berhadapan lagi dengan kami, beliau melanjutkan perkataannya, “ untuk memimpin, untuk berkuasa, kalian harus mampu mematikan perasaan kalian. Bagaimana caranya? Sebagai ujian pertama adalah dengan membunuh saudaramu. Bahkan aku jika menurutmu itu perlu.” Beliau kemudian kembali duduk ditahta kerajaan dan sambil menatap kami lekat beliau berkata lagi, “ tugas utama seorang pemimpin adalah mengamankan dirinya. Karena mustahil dia akan mampu untuk mengamankan kehidupan rakyatnya jika dirinya saja tak bisa merasa aman.” “langkah pertama untuk merasa aman adalah menyingkirkan saingan. Siapapun dia. Bahkan jika saingan itu adalah saudara kandungmu sendiri”. “ dua hari kedepan pertarungan kalian harus sudah terlaksana, sekarang pergilah persiapkan diri kalian untuk pertarungan kalian”.

Dan sekarang disinilah aku. Masih terbaring ditengah lapangan dengan sebilah badik yang masih tergenggam. Masih disisi jenazah adikku yang telah tebujur kaku akibat tikaman badikku. Kembali kurenungkan kata-kata ayahku dua hari yang lalu. Dan akhirnya aku pun mampu memahami maksudnya dengan baik. Memang untuk memimpin dengan cara yang paling baik, seluruh rasa harus mati. Hampa harus menguasai. Sehingga tidak ada lagi iba pada mereka yang yang berbuat salah. Tidak ada lagi ketidakadilan hanya karena kedekatan. Untuk memimpin dengan baik, kita harus aman dan merasa aman. Singkirkan semua yang mengganggu perjalanan menuju tujuan muliamu. Mustahil akan terbit rasa aman dalam kaum dan kerajaanmu jika dirimu sendiri masih merasa terancam. Segala hal diperbolehkan untuk mencapai tujuan mulia itu.

Dan perlahan-lahan rasa sakit dan sesal karena telah membunuh adik kandungku sendiri pun hilang berganti rasa aman karena telah menyingkirkan duri dari jalanku untuk mewujudkan tujuanku. Kini aku telah siap menjadi raja. Raja yang akan memimpin dengan adil karena rasa telah mati. Raja yang akan memimpin dengan berani karena tak akan ada lagi yang mengancam kekuasaanku.

Aku bangkit dan kemudian berjalan kembali menuju kerajaan untuk memberitahukan pada ayahku, bahwa akulah orang yang pantas menjadi raja. Jikalau dia tak setuju, mungkin saja dia juga akan menjadi salah satu korban yang akan menyusul adikku malam ini. Aku berjalan dengan sebuah senyum tersungging dibibirku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar